Larangan Ekspor Benur Rugikan Nelayan dan Negara

 

Matamatanews.com, JAKARTA—Karena dirasa merugikan masyarakat terutama para nelayan , akhirnya Kebijakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Ekspor Benih Losbster (Benur) yang sebelumnya diterbitkan Susi Pudjiastuti akhirnya dicabut.Pencabutan larangan eskpor  benur atau baby lobster  merupakan langkah tepat sehingga nelayan bisa memperoleh keuntungan budi daya lobster, kata seorang nelayan yang ditemui dilapangan.

Pelarangan ekspor benur atau baby lobster kata Masyarakat anti Penyelundupan Baby Lobster telah merugikan negara, karena akibat adanya pelarangan tersebut banyak baby lobster yang diselundupkan para mafia benur berinisial RBT.

“ Kerugian yang diderita berupa tidak adanya pemasukan ke kas negara selain itu juga merugikan para nelayan baby lobster.Nelayan dirugikan karena harga beli baby lobster oleh para penyelundup baby lobster sangat murah sekali, dengan dalih mahal biaya hanky panky para oknum penegak hukum dan para oknum yang mengatasnamakan Kementerian KKP,” sebut Masyarakat anti Penyelundupan Baby Lobster yang dikoordinir Firman dalam rilisnya.

Pencabutan Kebijakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Ekspor Benih Losbster (Benur) yang sebelumnya diterbitkan Susi Pudjiastuti ditandai  dengan Peraturan Menteri (Permen) yang baru Permen KP Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), kepiting (Scylla spp), dan rajungan (Portunus spp), di Wilayah Negara Republik Indonesia. Peraturan tersebut resmi diundangkan pada 5 Mei 2020 lalu di Jakarta.

Pencabutan larangan ekspor baby lobster tersebut membawa angin segar bagi para nelayan sehingga iklim pendapatan nelayan sedikit banyak akan tertanggulangi seperti sediakala, selain itu juga menjadi sumber pendapatan negara berupa devisa.

“ Untuk itu , maka Komunitas  Masyarakat anti Penyelundupan Baby Lobster  sangat mendukung kebijakan izin ekspor baby lobster sebagai langkah untuk memberantas para penyelundup baby lobster ke luar negeri,” tegas Firman.

Lebih lanjut Firman mengatakan meski larangan eskpor baby lobster diberlakukan , namun ekspor benur  dipasar gelap tetap berjalan seperti biasa, salah satunya ke Vietnam.

“ Ternyata , dari total kebutuhan baby lobster mereka, 80 persen dari Indonesia. Celakanya, 80 persen itu tidak langsung dari Indonesia melainkan lewat Singapura . Hal itulah yang membuat pihak perantara memperoleh untung paling besar. Pasalnya beninh lobster dari Indonesia hanya dijual seharga Rp 3.000 sampai Rp 5.000 per benih. Ketika dijual kembali, harganya bisa mencapai Rp 139 ribu per benih. Selisih harga itulah yang dinikmati para perantara.”

Terkait penyelundupan benur, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan  bahwa dana yang dibutuhkan bisa mencapai antara Rp 300 sampai Rp 900 miliar setiap tahunnya. Disinyalir dana tersebut dialirkan dari bandar di luar negeri melalui jaringan RBT ke pengepul di Indonesia yang diperuntukkan membeli benih lobster. Para penyelundup diduga terlibat dalam sindikat internasional,tambah Firman dalam siaran persnya.

Meski larangan eskpor benur telah cabut, namun sejumlah pengusaha penerima izin ekspor benih lobster mengaku harus menghadapi risiko besar ketika menjalankan bisnis ini, di antaranya perusahaan harus menjaga ketepatan waktu pengiriman ke pasar potensial  terdekat seperti Vietnam dan Cina.

“ Intinya kami apresiasi pencabutan pelarangan eskpor  bayi lobster , sehingga para nelayan bisa kembali beraktivitas seperti semula, selain itu kami juga berharap para sindikat yang selama ini bergentayangan diberbagai pos dan bermain dengan aturan sendiri, biasa ditertibkan pemerintah sehingga penyelundupan benur ke luar negeri bisa dihentikan,” ucap salah seorang pemegang izin ekspor benur yang keberatan ditulis namanya. (cam/tri)

 

 

redaksi

No comment

Leave a Response