Polemik Seputar Larangan Kritis Bagi Pegawai ASN Di Media Sosial

 

Matamatanews.com, PURWOKERTO - Dalam perbincangannya antara Koordinator Sistem Informasi Unsoed Ir.Alief Einstein,M.Hum. dengan Koordinator Program Studi Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Dr.Tedi Sudrajat,SH, MH. (akrab dipanggil Tedi) tentang Polemik Larangan Kritis Bagi Pegawai ASN di Media Sosial memaparkan, media sosial kerap dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat, dan itu adalah hak setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi. 

Tedi menambahkan, bagaimana dengan hak pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah di media sosial ? Dengan status kepegawaian yang melekat, menurutnya setiap pegawai ASN baik Pegawai Negeri Sipil maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) terikat dengan perjanjian antara Pemerintah dengan pegawai ASN yang disebut contract suigeneris yang didalamnya terkandung hubungan dinas publik (openbare diensbetrekking). 

" Artinya, pola hubungan ini menciptakan kedudukan yang sub ordinatif antara Pemerintah dengan pegawai ASN, dimana pegawai ASN harus tunduk taat pada setiap pengaturan yang dibuat oleh Pemerintah selaku atasannya. Implikasi dari hubungan ini menciptakan pembatasan Hak Asasi bagi setiap pegawai ASN, " terangnya.

A. Pembatasan Pendapat

Kondisi yang saat ini dibatasi menurut pandangan Ahli Hukum Birokrasi Tedi adalah penyampaian pendapat melalui media sosial yang memenuhi kriteria berupa :

1. Menyampaikan pendapat lewat media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah. 

2. Menyampaikan pendapat lewat media sosial yang mengandung ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antargolongan. 

3. Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian (pada poin 1 dan 2) melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost Instagram dan sejenisnya). 

4. Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah. 

5. Mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, dan memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah. 

6. Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana pada poin 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di media sosial.

B. Hukuman Disiplin

Ketika terjadi pelanggaran terhadap 6 kondisi tersebut di atas, maka menurut Tenaga Ahli Komite 4 DPD RI ini menyatakan, dapat dilakukan Penjatuhan hukuman disiplin terhadap pegawai ASN oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di masing-masing instansi. 

" Hukuman disiplin ini diberikan dengan mempertimbangkan latar belakang dan dampak perbuatan yang dilakukan ASN tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, hukuman disiplin terdiri dari hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat, " jelas Tedi.

C. Kondisi

1. Kondisi Chilling Effect

Tedi menjelaskan kondisi ini menimbulkan pro kontra dalam implementasinya, karena di satu sisi aturan tersebut bisa menimbulkan chilling effect, yakni pegawai ASN takut untuk menyampaikan pendapat terhadap pemerintah, sedangkan kritik dalam konteks demokrasi sangat diperlukan.

2. Kondisi Profesional dan Loyal

Namun disisi lain, pemerintah memerlukan profil pegawai ASN yang profesional dan loyal untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, sehingga membutuhkan situasi yang kondusif tanpa hiruk pikuk lontaran yang bernada sinis dan kritis terhadap pemerintah di media sosial.

Tedi yang juga dosen berprestasi 1 Unsoed bidang Sosial Humaniora menerangkan bahwa dua kondisi tersebut harus diantisipasi dengan membuat parameter yang jelas terhadap substansi dari pendapat tersebut. 

" Sepanjang disampaikan dengan data dan etika yang baik, maka hal tersebut seharusnya tidak perlu dipersoalkan. Selain itu, pemerintah perlu membuat media penyampaian aspirasi dari internal pemerintah yang langsung dapat direspon dari pihak yang dikritik. Media ini dijadikan sebagai forum diskusi pegawai ASN untuk mendukung reformasi birokrasi, " pungkasnya. *(hen/berbagai sumber)

 

 

 

 

redaksi

No comment

Leave a Response