Indonesia Bukan Negara Islam, tidak Perlu Repot Menabrak Tembok

 

Matamatanews.com, JAKARTA - Islam punya aturan yang tidak bisa diubah-ubah, jelas, tegas dan mudah dipahami. Umat atau orang Islam "wajib" menjalankan ajaran-ajaran Islam, jika tidak menjalankannya, maka otomatis gugur ke Islamannya. Negara Islam adalah negara yang sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saat menjadi Khalifah di Madinah, jadi jika ada orang Islam menjadi penguasa suatu negara Islam, wajib baginya menjalankan tugas dan tanggung jawabnya seperti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam         .

Bagi orang Islam di Indonesia yang saat ini menjadi pejabat negara, Indonesia hanyalah seperti perusahaan biasa, penguasanya menjalankan tugasnya seperti pejabat perusahaan, jadi hukum yang dipakai adalah hukum perusahaan. Jika pejabat tersebut bersumpah atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala diharapkan menjalankan amanah sebagai pimpinan perusahaan (dalam hal ini negara) dengan sangat serius karena dia sesuai dengan keyakinannya, dia seharusnya merasa diawasi Allah Subhanahu wa Ta’ala

Saat Walikota London yang muslim disumpah menjadi Walikota, dia menjadi pimpinan dari sistem yang bukan Islam, disumpahnya dia adalah untuk meyakinkan pengangkat-pengangkatnya bahwa sang Walikota akan mengerjakan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan tanggung jawabnya. Satu-satunya cara yang paling diyakini adalah dengan membuat sang Walikota di posisi takut salah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengawasi.

Jika Jokowi melanggar sumpahnya, ada 2 pihak yang marah, rakyat dan  Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi jika Jokowi membuat kesalahan dan rakyat tidak berdaya karena kalah kuat oleh rezim berkuasa, rakyat tinggal pasrahkan saja kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak perlu repot-repot nekad menabrak tembok. 

Pergaulan antar rakyat juga harus dijalankan dengan cerdas. Ada pergaulan sebagai sesama warga negara, ada pergaulan sebagai sesama pegawai kantor, sesama anggota parpol atau ormas, juga sesama seagaman dan seiman. Semua jenis pergaulan ini ada aturannya sendiri-sendiri. Jadi sebaiknya sebelum kita berinteraksi, kita nyatakan dulu status kita sebagai apa saat berinteraksi sehingga tidak campur aduk antara satu dengan lainnya. Misalnya yang satu berpikir sedang bicara sebagai sesama ummat Islam, yang satu lagi mikirnya sedang bicara sebagauiteman ngobrol atau teman yang satu RT saja. 

Yang patut diingat adalah sangat berbeda jika kita paham status yang kita sedang pakai saat bicara dengan orang-orang yang memakai status yang sama. Sering sekali orang yang saya ajak bicara merasa saya sebagai saudara seiman, jadi dasarnya adalah saudara sesama Islam, padahal saya sedang memposisikan diri sebagai pebisnis atau orang yang punya pemahaman Islam yang berbeda. Akibatnya jadi tidak nyambung sehingga sahabat-sahabat yang menganggap saya satu pemahaman jadi tersinggung karena saya tidak memberikan seperti yang diharapkan. 

Jokowi sama nasibnya, dia memang Islam, tapi saat jadi Presiden dia bukan Presiden Negara Islam, jadi banyak orang Islam yang marah kepadanya. Sebaiknya orang-orang Islam berjuang secara konstitusional jika ingin Indonesia menjadi negara Islam, buat partai dulu kemudian menangkan sebagian besar kursi di DPR dan MPR. Denngan cara demikian maka bisa merubah UUD 45 dengan menjadikan Indonesia sebagau negara Islam. Jika belum berhasil, usahalah terus dengan cara yang benar, jangan memakai cara-cara yang melanggar UUD atau aturan-aturan yang berlaku. (Penulis : Imbang Djaya, Pengamat Ekonomi Islam)

 

redaksi

No comment

Leave a Response